Tulisanku dalam Buku "Para Pembidik Mimpi"
Alhamdulillah, bisa diterbitkan dengan seluruh mahasiswa bidikmisi tingkat nasional yang diinisiasi oleh Permadani Diksi Nasional (Persatuan Mahasiswa dan Alumni Bidikmisi Tingkat Nasional). Tulisan saya yaitu berjudul "Kesempitan Yang Melapangkan".
Inilah kisahku, selengkapnya bisa dibaca di buku "Para Pembidik Mimpi" :
Sayup-sayup
udara mulai menerpaku. Cahaya senja selalu ingin menyapaku. Sunyi, sepi, itulah
teman yang selalu setia menemani. Mulailah tampak, rembulan saat itu sedikit
tersenyum melihatku. Seolah ingin menghibur qalbuku yang sedih tak menentu. Krucuk, krucuk, itulah bunyi yang akrab
di telingaku. Beginikah perjuangan itu? Inikah rasanya kelelahan dalam
kelaparan? Yang terkadang terasa begitu menyakitkan. Namun terkadang sedikit
membahagiakan.
Bergerilya
pikiranku saat itu. Gelisah begitu dalam angan dan rasa dalam hatiku. Akankah
aku akan menyerah pada keadaan? Ataukah aku sudah tak mulai yakin dengan
kebesaran Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang? Satu yang masih kuingat,
selama manusia masih hidup, maka selama itu pula rezekinya masih terjamin dan
ada untuknya.
Mulai
terlihatlah, alam yang mencoba menyadarkanku. Terlihatlah burung-burung yang
pagi-pagi berterbangan dan berangkat dengan perut kosong. Namun, di senja hari
ketika kembali ke sarangnya, perutnya telah terisi dan kenyang baginya.
Pikiranku semakin membumbung, ketika melihat orang-orang yang masih kesulitan
di bawahku. Ada yang sakit-sakitan, ada yang kecelakaan. Ada pula yang tidak
punya kaki dan tangan serta buta sejak dilahirkan. Ada yang rumahnya kebakaran.
Ada yang beberapa hari terpaksa harus meminta-minta karena tangisan anak
keturunan. Akhirnya diri ini pun tersadar, bahwa hidup bukan tentang penyesalan
dan menyerah akan keadaan, tetapi hidup adalah tentang kesabaran dan penuh kesyukuran
sehingga lahirlah kecukupan dan ketenangan itu.
Hatiku
terus menderu. Seolah ingin mengungkapkan sedikit ketidaksetujuanku. Akankah
aku hidup dalam ketidakjelasan ini, karena tak ada uang dan tak berani untuk
meminjam? Akankah aku kembali meminta pada orang tuaku dan menjelaskan
kesulitanku? Tegakah aku mengatakannya? Tegakah aku melihat Ibuku yang dibentak
dan ditagih setiap hari, karena hutangnya semakin tinggi dan menumpuk? Akankah
aku rela menambah beban-beban yang berat diatas pundaknya? Semua mencair begitu
saja. Semakin kuingat, semakin terasa pedih apa yang kurasakan. Masih ku ingat
pesan orang jawa dulu bahwa, “Anak mbarep
iku anak sing dadi pengarep-arep.” Anak pertama yaitu anak yang menjadi
tumpuan utama dalam keluarga. Kapankah aku bisa melakukan dan memenuhi itu?
Apalagi Ibuku harus masih berjuang menyekolahkan adikku, sementara Ayahku juga
telah tiada sejak aku kecil dulu.
Tidak
terasa, tiba-tiba seolah malam ingin memelukku dan seolah mengerti perasaanku
sambil berkata, “Lihatlah diriku. Diriku selalu identik dengan sunyi dan sepi. Banyak
orang yang tak mau berkenalan denganku. Mereka pun sering mengabaikan keberadaanku.
Namun, kebaikan itulah yang selalu kuberikan dan kutebarkan. Akhirnya mereka
pun bisa tidur ditengah-tengah masalah dan kesulitan hidup serta dpaat bangun
dengan hari yang baru dan semangat yang penuh menggebu-gebu. Itulah hidup,
yakinlah setelah kegelapan akan datang fajar yang begitu mencerahkan hingga kau
lupa dengan pekatnya dan suramnya kegelapan itu. Kunci dari itu semua yaitu usaha,
do’a dan pasrah itulah yang mesti dilakukan.”
Begitulah
yang kulakukan dalam kesempitan dan kekurangan. Biarlah ini menjadi pengingat
dalam hidupku dan menjadi pembelajaran bagiku untuk selalu membantu mereka yang
kesusahan dan hidup dalam kemiskinan. Mulailah ku menjalani hidup, laksana
burung. Makan seadanya, tak jarang hanya makan dengan nasi dan garam.
Terkadang, ketika ada teman. Ada yang melecehkan, namun ada juga yang
bernasehat padaku untuk bisa menjaga kesabaran. Namun, selalu ada saja hal yang
aneh kualami. Setiap malam, tiba-tiba saja ada yang mengasih makan. Ada yang
hanya datang untuk mengirim makan, memberikan nasi, hingga malah diajak untuk
makan prasmanan. Satu yang kujaga saat itu. Tidak pernah kuminta pada manusia,
biarlah Tuhan saja yang memberiku dan menunjukkan kuasa-Nya.
Beberapa
hari kemudian, terbersit dalam hatiku. Akankah aku akan hidup seperti ini,
hingga menunggu beasiswa turun lagi? Akhirnya mulailah terbersit dariku dan kucoba
memberanikan diri untuk berjualan. Jualan jajan pasar. Terkadang karena malu
dan merasa sungkan, akhirnya kumakan
sendiri karena juga merasa kelaparan. Mulai ada juga tawaran dari bu RT, untuk
mencoba memberikan les-lesan. Diceritakan bagaimana dan apa yang sedang dialami
masyarakat sekitar asramaku, bahwa warga sekitar ini rata-rata orang desa dan
tak mampu membayar les untuk anaknya, sehingga ketika hendak mau masuk sekolah
negeri pasti kalah bersaing dengan mereka orang kaya. Akhirnya, terpaksa harus
masuk sekolah swasta dan mahal biayanya maka tak jarang yang putus sekolah
ditengahnya. Mulailah sejak saat itu. Setiap jum’at sore anak-anak mulai
berdatangan untuk belajar. Walau tak pernah dibayar, senyum dan bahagia yang
tampak di wajah mereka seolah sudah cukup mengobati kekuranganku. Semoga ini bisa
menjadi jalan dan alasan Tuhan, untuk kembali memberiku seperti aku memberi
pada anak-anak yang les ini.
Tibalah
mungkin pertolongan itu. Tiba-tiba kulihat ada teman saya yang post di facebook
bahwa tulisannya, dimuat di media massa dan ternyata ada honor sebagai upahnya.
Maka sejak saat itu, kumulai belajar menulis dan mengirimkan beberapa tulisan
ke berbagai media massa. Alhamdulillah, sudah banyak tulisan dan opiniku yang
dimuat hingga ke media massa luar negeri yaitu majalah The Communal Times, Hingkong. Sedikit demi sedikit, mulai
membaiklah keadaanku. Tiba-tiba ada pesan untuk mengambil honor, ada juga yang
minta nomer rekening untuk pengiriman uang naskah, dll. Tetapi dibalik itu
semua, tetap memberi manfaat itulah dasarnya, karena materi hanya sebagai
bonusnya saja.
Selain
itu, ditengah kesulitan mencoba ingin terus berkarya. Alhamdulillah, bisa
menjadi Ketua BLM FST UNAIR 2015 dan Mawapres 2 FST 2015 angkatan 2012 serta di
awal tahun 2016 bisa menerbitkan buku “Cahaya Sejati ataukah Cahaya Semu” dan
menjadi Delegasi Pemuda Muslim di Universitas Selangor, Malaysia.
Akhirnya
baru kusadari. Inilah, kesempitan yang melapangkan. Kekurangan yang melebihkan.
Keterbatasan yang mencukupkan. Dan kesedihan yang membahagiakan. Maka benarlah,
Man Shbara Zhafira. Barangsiapa yang
bersabar, maka merekalah yang akan menang dan berhasil. Akhirnya bersabarlah,
karena kenikmatan itu datang setelah kelelahan. Dan teruslah bersabar, hingga
kau mendapatkan suatu kemanisan, yang manisnya akan membuatmu lupa perihnya
penderitaan yang telah kau alami selama ini.