IBX5A4B886D911B8 Tulisanku dalam Buku "Para Pembidik Mimpi" - My Life Journey - Sunali Agus

My Life Journey - Sunali Agus

Tulisanku dalam Buku "Para Pembidik Mimpi"

Alhamdulillah, bisa diterbitkan dengan seluruh mahasiswa bidikmisi tingkat nasional yang diinisiasi oleh Permadani Diksi Nasional (Persatuan Mahasiswa dan Alumni Bidikmisi Tingkat Nasional). Tulisan saya yaitu berjudul "Kesempitan Yang Melapangkan".


Inilah kisahku, selengkapnya bisa dibaca di buku "Para Pembidik Mimpi" :

Sayup-sayup udara mulai menerpaku. Cahaya senja selalu ingin menyapaku. Sunyi, sepi, itulah teman yang selalu setia menemani. Mulailah tampak, rembulan saat itu sedikit tersenyum melihatku. Seolah ingin menghibur qalbuku yang sedih tak menentu. Krucuk, krucuk, itulah bunyi yang akrab di telingaku. Beginikah perjuangan itu? Inikah rasanya kelelahan dalam kelaparan? Yang terkadang terasa begitu menyakitkan. Namun terkadang sedikit membahagiakan.

Bergerilya pikiranku saat itu. Gelisah begitu dalam angan dan rasa dalam hatiku. Akankah aku akan menyerah pada keadaan? Ataukah aku sudah tak mulai yakin dengan kebesaran Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang? Satu yang masih kuingat, selama manusia masih hidup, maka selama itu pula rezekinya masih terjamin dan ada untuknya.

Mulai terlihatlah, alam yang mencoba menyadarkanku. Terlihatlah burung-burung yang pagi-pagi berterbangan dan berangkat dengan perut kosong. Namun, di senja hari ketika kembali ke sarangnya, perutnya telah terisi dan kenyang baginya. Pikiranku semakin membumbung, ketika melihat orang-orang yang masih kesulitan di bawahku. Ada yang sakit-sakitan, ada yang kecelakaan. Ada pula yang tidak punya kaki dan tangan serta buta sejak dilahirkan. Ada yang rumahnya kebakaran. Ada yang beberapa hari terpaksa harus meminta-minta karena tangisan anak keturunan. Akhirnya diri ini pun tersadar, bahwa hidup bukan tentang penyesalan dan menyerah akan keadaan, tetapi hidup adalah tentang kesabaran dan penuh kesyukuran sehingga lahirlah kecukupan dan ketenangan itu.

Hatiku terus menderu. Seolah ingin mengungkapkan sedikit ketidaksetujuanku. Akankah aku hidup dalam ketidakjelasan ini, karena tak ada uang dan tak berani untuk meminjam? Akankah aku kembali meminta pada orang tuaku dan menjelaskan kesulitanku? Tegakah aku mengatakannya? Tegakah aku melihat Ibuku yang dibentak dan ditagih setiap hari, karena hutangnya semakin tinggi dan menumpuk? Akankah aku rela menambah beban-beban yang berat diatas pundaknya? Semua mencair begitu saja. Semakin kuingat, semakin terasa pedih apa yang kurasakan. Masih ku ingat pesan orang jawa dulu bahwa, “Anak mbarep iku anak sing dadi pengarep-arep.” Anak pertama yaitu anak yang menjadi tumpuan utama dalam keluarga. Kapankah aku bisa melakukan dan memenuhi itu? Apalagi Ibuku harus masih berjuang menyekolahkan adikku, sementara Ayahku juga telah tiada sejak aku kecil dulu.

Tidak terasa, tiba-tiba seolah malam ingin memelukku dan seolah mengerti perasaanku sambil berkata, “Lihatlah diriku. Diriku selalu identik dengan sunyi dan sepi. Banyak orang yang tak mau berkenalan denganku. Mereka pun sering mengabaikan keberadaanku. Namun, kebaikan itulah yang selalu kuberikan dan kutebarkan. Akhirnya mereka pun bisa tidur ditengah-tengah masalah dan kesulitan hidup serta dpaat bangun dengan hari yang baru dan semangat yang penuh menggebu-gebu. Itulah hidup, yakinlah setelah kegelapan akan datang fajar yang begitu mencerahkan hingga kau lupa dengan pekatnya dan suramnya kegelapan itu. Kunci dari itu semua yaitu usaha, do’a dan pasrah itulah yang mesti dilakukan.”

Begitulah yang kulakukan dalam kesempitan dan kekurangan. Biarlah ini menjadi pengingat dalam hidupku dan menjadi pembelajaran bagiku untuk selalu membantu mereka yang kesusahan dan hidup dalam kemiskinan. Mulailah ku menjalani hidup, laksana burung. Makan seadanya, tak jarang hanya makan dengan nasi dan garam. Terkadang, ketika ada teman. Ada yang melecehkan, namun ada juga yang bernasehat padaku untuk bisa menjaga kesabaran. Namun, selalu ada saja hal yang aneh kualami. Setiap malam, tiba-tiba saja ada yang mengasih makan. Ada yang hanya datang untuk mengirim makan, memberikan nasi, hingga malah diajak untuk makan prasmanan. Satu yang kujaga saat itu. Tidak pernah kuminta pada manusia, biarlah Tuhan saja yang memberiku dan menunjukkan kuasa-Nya.

Beberapa hari kemudian, terbersit dalam hatiku. Akankah aku akan hidup seperti ini, hingga menunggu beasiswa turun lagi? Akhirnya mulailah terbersit dariku dan kucoba memberanikan diri untuk berjualan. Jualan jajan pasar. Terkadang karena malu dan merasa sungkan, akhirnya kumakan sendiri karena juga merasa kelaparan. Mulai ada juga tawaran dari bu RT, untuk mencoba memberikan les-lesan. Diceritakan bagaimana dan apa yang sedang dialami masyarakat sekitar asramaku, bahwa warga sekitar ini rata-rata orang desa dan tak mampu membayar les untuk anaknya, sehingga ketika hendak mau masuk sekolah negeri pasti kalah bersaing dengan mereka orang kaya. Akhirnya, terpaksa harus masuk sekolah swasta dan mahal biayanya maka tak jarang yang putus sekolah ditengahnya. Mulailah sejak saat itu. Setiap jum’at sore anak-anak mulai berdatangan untuk belajar. Walau tak pernah dibayar, senyum dan bahagia yang tampak di wajah mereka seolah sudah cukup mengobati kekuranganku. Semoga ini bisa menjadi jalan dan alasan Tuhan, untuk kembali memberiku seperti aku memberi pada anak-anak yang les ini.

Tibalah mungkin pertolongan itu. Tiba-tiba kulihat ada teman saya yang post di facebook bahwa tulisannya, dimuat di media massa dan ternyata ada honor sebagai upahnya. Maka sejak saat itu, kumulai belajar menulis dan mengirimkan beberapa tulisan ke berbagai media massa. Alhamdulillah, sudah banyak tulisan dan opiniku yang dimuat hingga ke media massa luar negeri yaitu majalah The Communal Times, Hingkong. Sedikit demi sedikit, mulai membaiklah keadaanku. Tiba-tiba ada pesan untuk mengambil honor, ada juga yang minta nomer rekening untuk pengiriman uang naskah, dll. Tetapi dibalik itu semua, tetap memberi manfaat itulah dasarnya, karena materi hanya sebagai bonusnya saja.

Selain itu, ditengah kesulitan mencoba ingin terus berkarya. Alhamdulillah, bisa menjadi Ketua BLM FST UNAIR 2015 dan Mawapres 2 FST 2015 angkatan 2012 serta di awal tahun 2016 bisa menerbitkan buku “Cahaya Sejati ataukah Cahaya Semu” dan menjadi Delegasi Pemuda Muslim di Universitas Selangor, Malaysia.

Akhirnya baru kusadari. Inilah, kesempitan yang melapangkan. Kekurangan yang melebihkan. Keterbatasan yang mencukupkan. Dan kesedihan yang membahagiakan. Maka benarlah, Man Shbara Zhafira. Barangsiapa yang bersabar, maka merekalah yang akan menang dan berhasil. Akhirnya bersabarlah, karena kenikmatan itu datang setelah kelelahan. Dan teruslah bersabar, hingga kau mendapatkan suatu kemanisan, yang manisnya akan membuatmu lupa perihnya penderitaan yang telah kau alami selama ini.
Blogger
Disqus

No comments

Contact form

Name

Email *

Message *