Meneladani Guru Bangsa, Pencetak Pemimpin Nusantara HOS COKROAMINOTO
pada Friday, 26 June 2015
“Hanya ada satu-satunya jalan untuk berhijrah yaitu setinggi-tinggi
ilmu, semurni-murni tauhid, dan sepintar-pintar siasat”.
-HOS Cokroaminoto-
Pengabdian bukan meminta seberapa besar gaji atau imbalan tetapi
membicarakan seberapa besar tenaga, harta, pikiran dan jiwa yang kau korbankan,
karena satu yang menjadi tujuan yaitu keberkahan. Begitulah pengabdian, tepat
tanggal 16 Agustus 1882 di desa Bakur, Ponorogo, Jawa Timur lahirlah seorang
guru bangsa yang melahirkan tokoh-tokoh hebat Indonesia di masa yang akan
datang yaitu Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto atau sering dikenal sebagai HOS.
Cokroaminoto.
HOS Cokroaminoto merupakan anak kedua dari 12 bersaudara dari ayah
bernama R.M. Tjokroamiseno, salah seorang pejabat pemerintahan pada saat itu
dan kakeknya, R.M. Adipati Tjokronegoro, pernah juga menjabat sebagai bupati
Ponorogo. Terlahir dari keluarga bangsawan tak membuatnya bersikap angkuh,
justru karena itulah ia akhirnya menjadi sebuah motor penggerak kemerdekaan
bagi Indonesia disaat semua manusia tertidur dalam belaian kompeni Belanda.
“de Ongekroonde van Java”, Sang raja jawa tanpa mahkota begitulah
kaum Kompeni Belanda menyebutnya, lihai cerdas, dan bersemangat. Di takuti dan
juga disegani lawan – lawan politiknya. Perjuangnya dalam membela hak kaum
pribumi saat itu benar – benar menempatkan dirinya menjadi seoarang tokoh yang
benar-benar dihormati pada saat itu.
Setelah menamatkan
studinya di OSVIA, Magelang tahun 1900 ia masuk di pangreh pradja namun keluar
pada tahun 1907 karena tidak suka dengan praktek sembah-jongkok yang
dianggapnya sangat berbau feodal. Lalu pada tahun 1907 – 1910 bekerja pada
Firma Coy & CO di Surabaya. Ia juga seorang jurnalis dan juga pernah
memimpin surat kabar Otoesan Hindia yang merupakan organ internal SI sekaligus
sebagai pemilik usaha percetakan Setia Oesaha di Surabaya. Serta HOS
Tjokroaminoto pun piawai menulis buku, di antaranya adalah dua buku yang diberi
judul Tarich Agama Islam serta Islam dan Sosialisme.
Istrinya bernama Raden
Ajeng Suharsikin, puteri seorang patih wakil bupati Ponorogo yang bernama Raden
Mas Mangoensomo. Suharsikin adalah sosok cermin wanita yang selalu memberikan
bantuan moril dan semangat kepada suaminya dan salah satu hal yang selalu
menjadi kebiasaannya yaitu jika suaminya bepergian untuk kepentingan
perjuangan, maka ia pun mengiringi suaminya dengan sholat tahajud, puasa, dan
do’a.
Pada tahun 1912, ia pun tampil sebagai politikus muda yang
mendirikan Sarekat Islam sebagai penerus dari Serikat Dagang Islam tahun 1905
yang didirikan oleh H. Samanhudi yang dibubarkan oleh kolonial belanda karena dianggap
membahayakan mereka. HOS Cokroaminoto pun mengubah orientasi organisasi ini
yang mulanya bergerak di bidang ekonomi diperluas menjadi 4 bidang yaitu politik, ekonomi, sosial
dan agama.
Sifat politik dari
organisasi ini dirumuskan dalam “keterangan pokok” (asas) yang berisi bahwa, “Agama Islam itu membuka rasa pikiran perihal persamaan derajat
manusia sambil menjunjung tinggi kepada kuasa negeri” dan “bahwasanya itulah
{Islam} sebaik-baiknya agama buat mendidik budi pekertinya rakyat”.
Pada kongres nasional
Sarekat Islam pertama di Bandung pada tahun 1916, HOS Cokroaminoto berpesan
pada semua peserta kongres,”Tidaklah wajar untuk melihat
Indonesia sebagai sapi perahan yang disebabkan hanya karena susu. Tidaklah pada
tempatnya untuk menganggap negeri ini sebagai suatu tempat di mana orang-orang
datang dengan maksud mengambil hasilnya, dan pada saat ini tidaklah lagi dapat
dipertanggungjawabkan bahwa penduduknya adalah penduduk pribumi, tidak
mempunyai hak untuk berpartisipasi di dalam masalah-masalah politik, yang
menyangkut nasibnya sendiri, tidak bisa lagi terjadi bahwa seseorang
mengeluarkan undang-undang dan peraturan untuk kita, mengatur hidup kita tanpa
partisipasi kita.”
Akhirnya tepat pada hari
Senin Kliwon, 10 Ramadhan 1353 H, atau tepatnya pada tanggal 17 Desember 1934
H.O.S Tjokroaminoto menghembuskan nafas terakhirnya. Beliau dimakamkan di
Kuntjen, Yogyakarta. Dalam rangka mengenang dan menghargai jasa-jasa dan
sumbangsihnya kepada negara baik dalam bentuk tenaga, pikiran, bahkan harta
benda yang tak dapat dihitung besarnya, diangkat menjadi Pahlawan Nasional berdasarkan S.K. Presiden RI. No.590/1961.