IBX5A4B886D911B8 Belajar dari Ketegaran dan Keteguhan Salman Al-Farisi - My Life Journey - Sunali Agus

My Life Journey - Sunali Agus

Belajar dari Ketegaran dan Keteguhan Salman Al-Farisi


Orang cerdas mampu belajar dari kesalahannya sendiri, sedangkan orang bijaksana mampu belajar dari kesalahan dan pengalaman orang lain.”

Setiap orang pasti ada kehidupannya. Pasti ada pengalamannya. Oleh karena itu, setiap orang pasti ciri khas yang memang membedakannya. Salah satu kehidupan yang paling baik untuk menjadi teladan dan contoh setelah Rasulullah Muhammad saw., yaitu kehidupan para sahabatnya. Salah satunya yaitu Salman Al-Farisi.
Sejak kecil, beliau dibesarkan dari keluarga nasrani, namun semakin dewasa akhirnya terbukalah wawasannya bahwa ada satu ilmu yang belum pernah diajarkan kepada dirinya oleh ayahnya. Terbukalah bahwa, ada sesosok Nabi akhir zaman, yang dikenal melalui tanda-tanda dalam dirinya, yaitu toh (tanda) di balik punggungnya.
Pergilah ia, mencari pemuda yang ada dalam al-kitab. Ditinggalkannya beberapa harta yang dimilikinya dari rumah, pakaian dan lain sebagainya untuk mencari kebenaran dan menjadi penganutnya. Begitulah hidayah, ia ibarat perjalanan. Maka jangan pernah nge-judge orang buruk, karena bisa jadi di akhir hayatnya ia bisa lebih baik daripada yang menghina.
Selain itu, setelah menjadi penganutnya dan pemeluk islam. Di tengah ada kejadian pemuda yang akan dibunuh karena ada kesalahpahaman waktu pemerintahan khalifah Umar bin Khattab. Salman pun memberanikan diri untuk menjadi jaminan bila pemuda tadi meninggalkan dan mengingkari janjinya. Tujuannya pun mulia agar di masa yang akan dating, tiada yang mengatakan bahwa tidak ada lagi pemuda islam yang dapat dipercaya karena mengingkari janjinya.
Beberapa hari pun berlangsung, hingga tibalah masa untuknya segera menggenapkan agamanya. Ditemuilah sahabatnya bernama Abu Darda’ untuk membantunya dalam melamar seorang gadis pujaan hatinya. Itu disebabkan karena beliau memang pemalu dan tidak berani mengungkapkan apa maksud dalam hatinya.
Namun apa yang terjadi? Sang gadis pun malah lebih memilih Abu Darda’ yang menjadi suaminya. Disinilah kesabaran dan kesyukuran diuji. Sabar dan mencoba senang, karena sahabatnya akan segera menikah, dan tetap syukur menerima apa yang terjadi. Lantas tetap berharap dalam hati bahwa, “Semoga Allah, memberikan ganti yang lebih baik.”
Dia pun yakin bahwa belum tentu apa yang menurutnya baik, memang baik untuknya. Dan belum tentu pula, yang menurutnya buruk, memang buruk untuknya. Tetapi apa yang menjadi ketetapan Allah, maka itulah yang terbaik untuk hambanya.
Begitulah ketegaran hati seorang mukmin, apabila ia tertimpa suatu musibah dan bencana maka ia lantas bersabar. Sedangkan saat, dimana ia mendapat nikmat maka ia pun lantas bersyukur bukan malah menjadi kufur.

Tak ada kata “Seandainya”, karena ia yakin bahwa kata itulah sebagai pintu masuk setan yang hanya akan merusak kesabaran dan kesyukuran dalam hatinya. Lantas, yang selalu diucapkannya yaitu “Memang semua sudah menjadi takdir Allah Swt.”
Blogger
Disqus

No comments

Contact form

Name

Email *

Message *