Belajar dari Ketegaran dan Keteguhan Salman Al-Farisi
“Orang
cerdas mampu belajar dari kesalahannya sendiri, sedangkan orang bijaksana mampu
belajar dari kesalahan dan pengalaman orang lain.”
Setiap
orang pasti ada kehidupannya. Pasti ada pengalamannya. Oleh karena itu, setiap
orang pasti ciri khas yang memang membedakannya. Salah satu kehidupan yang
paling baik untuk menjadi teladan dan contoh setelah Rasulullah Muhammad saw.,
yaitu kehidupan para sahabatnya. Salah satunya yaitu Salman Al-Farisi.
Sejak
kecil, beliau dibesarkan dari keluarga nasrani, namun semakin dewasa akhirnya
terbukalah wawasannya bahwa ada satu ilmu yang belum pernah diajarkan kepada
dirinya oleh ayahnya. Terbukalah bahwa, ada sesosok Nabi akhir zaman, yang
dikenal melalui tanda-tanda dalam dirinya, yaitu toh (tanda) di balik punggungnya.
Pergilah
ia, mencari pemuda yang ada dalam al-kitab.
Ditinggalkannya beberapa harta yang dimilikinya dari rumah, pakaian dan lain
sebagainya untuk mencari kebenaran dan menjadi penganutnya. Begitulah hidayah,
ia ibarat perjalanan. Maka jangan pernah nge-judge orang buruk, karena bisa jadi di akhir hayatnya ia bisa lebih
baik daripada yang menghina.
Selain
itu, setelah menjadi penganutnya dan pemeluk islam. Di tengah ada kejadian
pemuda yang akan dibunuh karena ada kesalahpahaman waktu pemerintahan khalifah
Umar bin Khattab. Salman pun memberanikan diri untuk menjadi jaminan bila
pemuda tadi meninggalkan dan mengingkari janjinya. Tujuannya pun mulia agar di
masa yang akan dating, tiada yang mengatakan bahwa tidak ada lagi pemuda islam
yang dapat dipercaya karena mengingkari janjinya.
Beberapa
hari pun berlangsung, hingga tibalah masa untuknya segera menggenapkan
agamanya. Ditemuilah sahabatnya bernama Abu Darda’ untuk membantunya dalam
melamar seorang gadis pujaan hatinya. Itu disebabkan karena beliau memang pemalu
dan tidak berani mengungkapkan apa maksud dalam hatinya.
Namun
apa yang terjadi? Sang gadis pun malah lebih memilih Abu Darda’ yang menjadi
suaminya. Disinilah kesabaran dan kesyukuran diuji. Sabar dan mencoba senang,
karena sahabatnya akan segera menikah, dan tetap syukur menerima apa yang
terjadi. Lantas tetap berharap dalam hati bahwa, “Semoga Allah, memberikan
ganti yang lebih baik.”
Dia
pun yakin bahwa belum tentu apa yang menurutnya baik, memang baik untuknya. Dan
belum tentu pula, yang menurutnya buruk, memang buruk untuknya. Tetapi apa yang
menjadi ketetapan Allah, maka itulah yang terbaik untuk hambanya.
Begitulah
ketegaran hati seorang mukmin, apabila ia tertimpa suatu musibah dan bencana
maka ia lantas bersabar. Sedangkan saat, dimana ia mendapat nikmat maka ia pun
lantas bersyukur bukan malah menjadi kufur.
Tak
ada kata “Seandainya”, karena ia yakin bahwa kata itulah sebagai pintu masuk
setan yang hanya akan merusak kesabaran dan kesyukuran dalam hatinya. Lantas,
yang selalu diucapkannya yaitu “Memang semua sudah menjadi takdir Allah Swt.”