IP #120 "Entahlah."
Senja itu, seolah langit ingin mengajakku tuk memandanginya. Ia lukiskan wajah yang begitu indah, yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.
Sang surya dan mentari pun ikut menari dengan sepenuh hati. Kalup-kalup warna ke orange sedikit menambah kemagisan kala itu.
Lambaian dedaunan, kicauan burung, dan semilirnya angin mengajakku tuk menyatu dengannya.
Sang Rumput, dengan syahdunya berkata. "Akankah, aku bisa hidup abadi? Ataukah aku akan segera mati? Lantas apa yang telah kupersiapkan selama ini?"
Dengan lembutnya angin, bernasehat padanya. Menentramkan hatinya, tanpa ada sedikitpun perasaan memaksa, menghina, bahkan memusuhinya. "Bahagialah, engkau wahai rumput. Darimu, kambing-kambing beranak pinak. Sapi-sapi mengeluarkan kesegaran dari air susunya. Bahkan terkadang darimu pula, tanah yang gersang bisa kembali menjadi subur."
"Benarkah itu angin? Tapi, sepertinya kau lebih utama lagi. Tanpamu, tak akan kehidupan. Karena dengan adamu, maka ada pula nafas kehidupan."
Perbincangan pun menjadi semakin seru. Seolah hewan-hewan, dan alam mendengarkan pembicaraan itu. Sang katak berkata, "Bagaimana dengan aku? Manusia terkadang selalu membenciku. Menangkapku, bahkan memakanku."
Tiba-tiba, datang pula capung. "Seolah diriku terlihat indah oleh mereka, tetapi tak pernah sedikitpun mereka berpikir apa dibalik itu. Mereka pun juga sering memusuhiku, bahkan sudah kecil keberadaanku."
Dengan santunnya, petani pun duduk termangu. Mencoba melerai itu. "Wahai alam, begitu sempurna pengorbanan dan pengabdianmu. Setiap gerak-gerikmu, setiap apa kemauanmu tak pernah atas dasar nafsu. Tetapi, itu menjadi sembahyangmu. Selayaknya kau lebih bahagia dibanding diriku manusia."
Terlihatlah, kala itu. Sawah-sawah yang hijau dan menguning di pandangan mata. Tapi, ternyata hanya sedikit yang mampu menangkap maksud dan hakikat pandangan qalbu.
Mungkinkah...
Mungkinkah, sudah tiba masa itu...
Entahlah,
Entahlah, aku hanya bisa pasrah dan berdo'a pada-Nya.
Begitulah, keluh petani di senja itu.