Agar Tak Menyesal
pada Sunday, 28 June 2015
Hari itu saya diminta ngisi acara talkshow di salah satu kampus negeri di Surabaya. Selain ratusan mahasiswa, di barisan terdepan habir beberapa dosen yang mengikuti acara ini hingga akhir. Usai acara, semua dosen menghampiri saya. Ada yang bertanya tentang materi, ada yang sekadar berpamitan, tapi ada seorang dosen yang berbisik kepada saya, "Mas Rifai, ada waktu bentar tidak? Kalau ada waktu, tolong mampir ke rumah saya sebentar. Saya mau minta bantuan mas Rifai. Penting sekali".
.
Saya mengiyakan beliau, karena sepertinya memang sebuah masalah yang cukup penting. Maka usai acara, kami berjamaah di masjid kampus, kemudian berjalan menuju rumah beliau yang ternyata ada di komplek perumahan dosen yang tidak jauh dari lokasi acara. Dalam perjalanan ke rumah, beliau cerita tentang putranya yang saat ini sedang bermasalah dengan kuliahnya. Beliau cerita, putranya sejak usia sekolah prestasinya sangat baik, selalu dapat ranking di kelas, bahkan saat kuliah Indeks Prestasinya pun cukup tinggi.
.
Namun menjelang akhir perkuliahan, sang anak mengambil keputusan yang sangat mengejutkan. Ia tidak mau melanjutkan kuliahnya, padahal yang tersisa tinggal Tugas Akhir atau Skripsi. Alasannya pun membuat sang ayah terkejut. Ia mengambil keputusan itu karena merasa bahwa jurusan yang diambil bukanlah passionnya. Ia bercerita kepada ayahnya bahwa passionnya adalah menulis novel. Dan passion itu baru disadarinya menjelang akhir kuliahnya.
.
Setelah kami tiba di rumah beliau, saya lantas dipertemukan dengan sang anak di ruang tamu. Sang ayah meninggalkan kami berdua. Kami berkenalan sejenak, dan betapa terkejutnya saya setelah tahu bahwa anak ini ternyata satu angkatan dengan saya, artinya usianya kurang lebih sama dengan saya. Saya pun berpikir, apakah dia masih punya kesempatan untuk melanjutkan kuliahnya? Bukankah itu sudah cukup lama. Setelah mengorek informasi, ternyata masih ada kesempatan. Karena selama ini dia banyak ambil cuti, dan baru beberapa hari yang lalu mendapatkan surat peringatan dari kampus.
.
Bukan hanya satu angkatan, ternyata dia selama ini kuliah di kampus yang sama dengan saya. Juga memiliki hobi yang sama dengan saya, yakni menulis. Maka saya pun menjadikan kesamaan-kesamaan ini untuk menyelami pikirannya. Saya mencoba berdiskusi dan berusaha masuk melalui emosinya. Paling tidak dengan kesamaan-kesamaan itu saya lebih mudah untuk mengetahui apa yang sedang digalaukannya.
.
"Kayaknya kita senasib deh", kata saya. Dia fokus menatap saya. "Dulu saya juga menghadapi persoalan seperti itu di perjalanan kuliah. Saya pernah merasa bahwa jurusan yang saya ambil itu bukanlah passion saya. Saya lebih suka berwirausaha dan menulis dibandingkan menjadi engineer. Dan saya baru menyadari itu setelah bertahun-tahun menjalani aktivitas kuliah saya. Menjelang akhir, saya pun berpikir untuk drop out. Saya berpikir, buat apa saya memelajari sesuatu yang kelak tidak ingin saya tekuni sebagai pekerjaan? Buat apa yang menghabiskan waktu saya untuk memelajari materi kuliah yang kelak tidak saya butuhkan? Saya sudah menghabiskan cukup banyak umur saya untuk menggeluti materi kuliah yang tidak begitu saya perlukan untuk aktivitas saya di masa depan. Saya tidak ingin lebih banyak lagi usia saya terbuang untuk ini. Lantas apa yang saya lakukan saat itu?"
.
Dia mendengar dengan sangat serius.
.
"Saya lantas merenungkan berbagai keputusan dan memprediksi kemungkinan yang bakal terjadi jika saya mengambil keputusan tersebut. Dari perenungan itu, akhirnya saya mengambil sebuah keputusan yang sangat saya syukuri hingga hari ini. Apa itu? Saya mulai mengerjakan apa yang saya sukai, sambil tetap menyelesaikan perkuliahan. Artinya, saat kuliah, saya mulai berwirausaha dengan mendirikan sebuah penerbit yang menjadi cikal bakal Penerbit Marsua Media yang masih eksis hingga saat ini. Saya juga mulai belajar menulis buku, sambil tetap melanjutkan perkuliahan saya.
.
Mengapa keputusan itu saya ambil? Pertama, dulu saya masih belum yakin, apakah usaha yang saya rintis bisa menjadi jalan rezeki saya di masa depan. Dulu saya pun belum yakin saya benar-benar bisa menulis, atau sekadar suka menulis. Maka saya tetap melanjutkan perkuliahan saya sebagai antisipasi jika usaha yang saya rintis gagal, atau jika saya tidak berhasil dalam bidang kepenulisan. Minimal dengan ijasah sarjana teknik, saya masih berpeluang untuk bisa bekerja sebagai engineer di perusahaan. Dengan itu saya merasa nyaman dalam berwirausaha dan menulis tanpa dibebani oleh kemungkinan gagal. Karena saya sudah punya antisipasi.
.
Alasan kedua mengapa saya mengambil keputusan itu adalah saya kuliah dibiayai negara. Maka saya merasa punya tanggungjawab untuk menyelesaikannya sampai tuntas. Saya merasa dhalim ketika saya mengambil keputusan drop out dari kampus, meskipun itu saya lakukan agar bisa fokus pada passion saya. Saya pun bertekad untuk menyelesaikan tanggungjawab ini sampai tuntas untuk kemudian berkarya sebaik mungkin dan berkontribusi bagi umat, bangsa, dan negara.
.
Alasan ketiga, saya merasa khawatir jika saya tidak punya kesempatan lagi untuk melihat kedua orangtua saya tersenyum setelah ini. Saya berprinsip, kalau belum bisa membuat orangtuamu bahagia, minimal jangan bikin mereka sedih dan susah. Maka saya memutuskan untuk tetap menyelesaikan kuliah ini agar mereka tenang. Saya pun ingin menyaksikan kegembiraan di wajah mereka saat saya, putra pertamanya, akhirnya bisa lulus kuliah. Saya tidak ingin kelak saya menyesal. Saya khawatir saya tidak punya waktu lagi untuk melihat mereka bahagia setelah ini."
***
Agar kita tak menyesal di masa depan, hendaknya keputusan yang kita ambil berdasarkan pertimbangan sematang mungkin. Khususnya orangtua kita. Terkadang kita berbeda pendapat dengan mereka. Kadang keputusan kita tidak sesuai dengan pilihan mereka. Kadang yang kita mau berbeda dengan harapan mereka. Tak jarang kita temui anak yang ingin kuliah di jurusan A, tapi orangtua tak setuju, ingin si anak kuliah di jurusan B yang menurut orangtua lebih prospek masa depannya.
.
Tak jarang kita juga menemui situasi, dimana menjelang pernikahan, orangtua tak setuju dengan pendamping hidup yang dipilih oleh sang anak. Saya rasa tak bijak jika kita mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan ridho mereka. Saat berbeda pendapat, mari selalu berusaha untuk mendiskusikannya, sehingga apa yang menjadi pilihan kita tidak bertentangan dengan ridho mereka. Karena ridho Tuhan bersama ridho orangtua.
.
Ada yang mengabaikan hal ini sehingga di kemudian hari, ia sangat menyesal. Menyesal karena selama hidupnya, hanya membuat orangtuanya sedih berkepanjangan. Menyesal, karena mau minta maaf, sudah tidak ada kesempatan kedua. Karena ternyata kedua orangtuanya telah tiada.
.
Agar kelak tak ada penyesalan. Jika hari ini anda masih hidup bersama mereka, bahagiakanlah. Buat mereka meneteskan air matanya. Nangis bukan karena kenakalan dan kegagalan kita, tapi nangis karena prestasi dan keshalihan kita. Buat mereka bangga karena sudah menjadi perantara lahirnya seorang anak yang luar biasa. Buat mereka bangga karena memiliki anak sehebat dan sebaik kita. Mereka surga kita.
.
"Sungguh kecewa, sungguh kecewa dan hina, sungguh kecewa, siapa yang mendapatkan ayah ibunya atau salah satu dari keduanya hingga lanjut usia, kemudian ia tidak masuk surga." (H.r Muslim)
.
Saya mengiyakan beliau, karena sepertinya memang sebuah masalah yang cukup penting. Maka usai acara, kami berjamaah di masjid kampus, kemudian berjalan menuju rumah beliau yang ternyata ada di komplek perumahan dosen yang tidak jauh dari lokasi acara. Dalam perjalanan ke rumah, beliau cerita tentang putranya yang saat ini sedang bermasalah dengan kuliahnya. Beliau cerita, putranya sejak usia sekolah prestasinya sangat baik, selalu dapat ranking di kelas, bahkan saat kuliah Indeks Prestasinya pun cukup tinggi.
.
Namun menjelang akhir perkuliahan, sang anak mengambil keputusan yang sangat mengejutkan. Ia tidak mau melanjutkan kuliahnya, padahal yang tersisa tinggal Tugas Akhir atau Skripsi. Alasannya pun membuat sang ayah terkejut. Ia mengambil keputusan itu karena merasa bahwa jurusan yang diambil bukanlah passionnya. Ia bercerita kepada ayahnya bahwa passionnya adalah menulis novel. Dan passion itu baru disadarinya menjelang akhir kuliahnya.
.
Setelah kami tiba di rumah beliau, saya lantas dipertemukan dengan sang anak di ruang tamu. Sang ayah meninggalkan kami berdua. Kami berkenalan sejenak, dan betapa terkejutnya saya setelah tahu bahwa anak ini ternyata satu angkatan dengan saya, artinya usianya kurang lebih sama dengan saya. Saya pun berpikir, apakah dia masih punya kesempatan untuk melanjutkan kuliahnya? Bukankah itu sudah cukup lama. Setelah mengorek informasi, ternyata masih ada kesempatan. Karena selama ini dia banyak ambil cuti, dan baru beberapa hari yang lalu mendapatkan surat peringatan dari kampus.
.
Bukan hanya satu angkatan, ternyata dia selama ini kuliah di kampus yang sama dengan saya. Juga memiliki hobi yang sama dengan saya, yakni menulis. Maka saya pun menjadikan kesamaan-kesamaan ini untuk menyelami pikirannya. Saya mencoba berdiskusi dan berusaha masuk melalui emosinya. Paling tidak dengan kesamaan-kesamaan itu saya lebih mudah untuk mengetahui apa yang sedang digalaukannya.
.
"Kayaknya kita senasib deh", kata saya. Dia fokus menatap saya. "Dulu saya juga menghadapi persoalan seperti itu di perjalanan kuliah. Saya pernah merasa bahwa jurusan yang saya ambil itu bukanlah passion saya. Saya lebih suka berwirausaha dan menulis dibandingkan menjadi engineer. Dan saya baru menyadari itu setelah bertahun-tahun menjalani aktivitas kuliah saya. Menjelang akhir, saya pun berpikir untuk drop out. Saya berpikir, buat apa saya memelajari sesuatu yang kelak tidak ingin saya tekuni sebagai pekerjaan? Buat apa yang menghabiskan waktu saya untuk memelajari materi kuliah yang kelak tidak saya butuhkan? Saya sudah menghabiskan cukup banyak umur saya untuk menggeluti materi kuliah yang tidak begitu saya perlukan untuk aktivitas saya di masa depan. Saya tidak ingin lebih banyak lagi usia saya terbuang untuk ini. Lantas apa yang saya lakukan saat itu?"
.
Dia mendengar dengan sangat serius.
.
"Saya lantas merenungkan berbagai keputusan dan memprediksi kemungkinan yang bakal terjadi jika saya mengambil keputusan tersebut. Dari perenungan itu, akhirnya saya mengambil sebuah keputusan yang sangat saya syukuri hingga hari ini. Apa itu? Saya mulai mengerjakan apa yang saya sukai, sambil tetap menyelesaikan perkuliahan. Artinya, saat kuliah, saya mulai berwirausaha dengan mendirikan sebuah penerbit yang menjadi cikal bakal Penerbit Marsua Media yang masih eksis hingga saat ini. Saya juga mulai belajar menulis buku, sambil tetap melanjutkan perkuliahan saya.
.
Mengapa keputusan itu saya ambil? Pertama, dulu saya masih belum yakin, apakah usaha yang saya rintis bisa menjadi jalan rezeki saya di masa depan. Dulu saya pun belum yakin saya benar-benar bisa menulis, atau sekadar suka menulis. Maka saya tetap melanjutkan perkuliahan saya sebagai antisipasi jika usaha yang saya rintis gagal, atau jika saya tidak berhasil dalam bidang kepenulisan. Minimal dengan ijasah sarjana teknik, saya masih berpeluang untuk bisa bekerja sebagai engineer di perusahaan. Dengan itu saya merasa nyaman dalam berwirausaha dan menulis tanpa dibebani oleh kemungkinan gagal. Karena saya sudah punya antisipasi.
.
Alasan kedua mengapa saya mengambil keputusan itu adalah saya kuliah dibiayai negara. Maka saya merasa punya tanggungjawab untuk menyelesaikannya sampai tuntas. Saya merasa dhalim ketika saya mengambil keputusan drop out dari kampus, meskipun itu saya lakukan agar bisa fokus pada passion saya. Saya pun bertekad untuk menyelesaikan tanggungjawab ini sampai tuntas untuk kemudian berkarya sebaik mungkin dan berkontribusi bagi umat, bangsa, dan negara.
.
Alasan ketiga, saya merasa khawatir jika saya tidak punya kesempatan lagi untuk melihat kedua orangtua saya tersenyum setelah ini. Saya berprinsip, kalau belum bisa membuat orangtuamu bahagia, minimal jangan bikin mereka sedih dan susah. Maka saya memutuskan untuk tetap menyelesaikan kuliah ini agar mereka tenang. Saya pun ingin menyaksikan kegembiraan di wajah mereka saat saya, putra pertamanya, akhirnya bisa lulus kuliah. Saya tidak ingin kelak saya menyesal. Saya khawatir saya tidak punya waktu lagi untuk melihat mereka bahagia setelah ini."
***
Agar kita tak menyesal di masa depan, hendaknya keputusan yang kita ambil berdasarkan pertimbangan sematang mungkin. Khususnya orangtua kita. Terkadang kita berbeda pendapat dengan mereka. Kadang keputusan kita tidak sesuai dengan pilihan mereka. Kadang yang kita mau berbeda dengan harapan mereka. Tak jarang kita temui anak yang ingin kuliah di jurusan A, tapi orangtua tak setuju, ingin si anak kuliah di jurusan B yang menurut orangtua lebih prospek masa depannya.
.
Tak jarang kita juga menemui situasi, dimana menjelang pernikahan, orangtua tak setuju dengan pendamping hidup yang dipilih oleh sang anak. Saya rasa tak bijak jika kita mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan ridho mereka. Saat berbeda pendapat, mari selalu berusaha untuk mendiskusikannya, sehingga apa yang menjadi pilihan kita tidak bertentangan dengan ridho mereka. Karena ridho Tuhan bersama ridho orangtua.
.
Ada yang mengabaikan hal ini sehingga di kemudian hari, ia sangat menyesal. Menyesal karena selama hidupnya, hanya membuat orangtuanya sedih berkepanjangan. Menyesal, karena mau minta maaf, sudah tidak ada kesempatan kedua. Karena ternyata kedua orangtuanya telah tiada.
.
Agar kelak tak ada penyesalan. Jika hari ini anda masih hidup bersama mereka, bahagiakanlah. Buat mereka meneteskan air matanya. Nangis bukan karena kenakalan dan kegagalan kita, tapi nangis karena prestasi dan keshalihan kita. Buat mereka bangga karena sudah menjadi perantara lahirnya seorang anak yang luar biasa. Buat mereka bangga karena memiliki anak sehebat dan sebaik kita. Mereka surga kita.
.
"Sungguh kecewa, sungguh kecewa dan hina, sungguh kecewa, siapa yang mendapatkan ayah ibunya atau salah satu dari keduanya hingga lanjut usia, kemudian ia tidak masuk surga." (H.r Muslim)
ditulis oleh Ahmad Rifa'i Rif'an