IBX5A4B886D911B8 Virus-Virus yang Menjangkiti Generasi Muda Indonesia - My Life Journey - Sunali Agus

My Life Journey - Sunali Agus

Virus-Virus yang Menjangkiti Generasi Muda Indonesia


Indonesia merupakan negara terpadat keempat didunia dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta jiwa. Berdasarkan data CIA World Facthbook tahun 2015 yaitu dari jumlah penduduk Indonesia tadi sekitar 27,3 % berusia 0-14 tahun, 66,5 % berumur 15-64 tahun, dan 6,1 % berumur 6,1 %. Hal ini menunjukkan begitu besar jumlah usia produktif di negeri ini, sehingga tidak salah 100 tahun kemerdekaan kedepan Indonesia yaitu tahun 2045, Indonesia diprediksikan bisa menjadi salah satu negara termaju di dunia.
Namun sungguh sangat mengejutkan terhadap apa yang terjadi pada generasi muda Indonesia saat ini. Seolah budaya konsumtif dan materailistik sudah menjamur dan mengikis budaya khas Indonesia seperti berke-Tuhanan, budaya gotong royong, sopan santun hingga berbagai hal yang telah tercantum dalam nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Hal inilah yang sedang menjangkit di generasi muda, dan itulah Sindrom.
Ada tiga gejala yang menandakan hal ini yaitu adanya virus Triavialism yaitu suatu penyakit yang menjangkit generasi muda untuk selalu bersenang-senang dan melakukan hal-hal yang menghiburnya saja tanpa memikirkan nilai edukatif didalamnya. Lalu ada virus Cinderella yaitu suatu penyakit yang inginnya selalu instan dan praktis tanpa ingin berlelah-lelah terlebih dahulu sehingga mengakibatkan virus yang ketiga yaitu virus NEET (No Education, Employee, and Training).
Hal ini pun didukung dengan berkembangnya media yang seolah hanya menayangkan hal-hal yang bersifat menghibur tanpa ada suatu edukasi didalamnya. Maka tak segan-segan Presiden Indonesia saat ini yaitu Ir. Jokowi menegur media saat ini terutama media elektronik yaitu televisi. Ada pepatah baru mengatakan, “Tontonan jadi tuntunan dan Tuntunan jadi Tontonan”. Ketika ditanya apa cita-citanya langsung spontan, mereka menjawab ingin jadi artis, penyanyi, dan lainnya yang bisa masuk tv dan gajinya tinggi. Seolah menjadi artis adalah cita-cita tertinggi, padahal yang dikatakan orang besar adalah bukan mereka yang besar gajinya, tinggi jabatannya namun mereka yang mampu mendedikasikan dirinya, ilmunya, ketrampilan hingga jiwanya untuk mengabdi.
Seolah semakin maju suatu zaman, teknologi dan ilmu pengetahuan. Seolah dengan itu pula manusia semakin meninggalkan sifat fitrahnya sebagai manusia yaitu makhluk sosial. Mereka lebih asyik ngobrol, update status ataupun hanya lihat status media sosial dibandingkan dengan berbicara, berdiskusi dengan orang disekitarnya atau melihat fenomena disekitarnya dan memberikan solusi atas permasalahan yang sedang dihadapi. Apakah ini maksud, “Menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh”. Apalagi pasar-pasar tradisional pun mulai ditinggalkan berganti pasar modern dan jual beli. Seolah tak ada lagi kesempatan untuk tawar menawar secara langsung, bertemu dengan beragam orang tuk saling mengenal, menyapa bahkan mendoakan satu sama lain yang semua semakin membuat kedekatan hati dan kerekatan persahabatan dan persaudaraan antar sesama.
Mari bebaskan diri dari belenggu-belenggu diri dan berbagai sindrom diatas, karena Indonesia adalah bangsa pejuang bukan bangsa yang bermalas-malasan dan pasrah dengan keadaan, sehingga satu slogan yang terus mereka gemborkan dulu yaitu “Merdeka atau Mati”. Imam Syafi’i pun telah mengajarkan, “Tidaklah mungkin orang yang punya mimpi dan bercita-cita besar hanya duduk berpangku tangan. Tinggalkanlah watan dan kenyamanan maka kau akan menemukan gantinya karena kenikmatan hidup didapatkan setelah kau melewati kelelahan”. Begitupun pepatah lama mengajarkan, “Berakit-rakit kehulu, berenang-renang ketepian. Bersakit-sakitlah terlebih dahulu, dan bersenang-senanglah kemudian”.
Jadikan hidup penuh dengan pengorbanan. Semakin menjadi hartawan, semakin pula bertambah dermawan. Semakin terkenal, maka ia pun semakin menjadi teladan. Semakin tinggi suatu jabatan, semakin kebermanfaatan dan kemaslahatan yang selalu dipikirkan. Satu pepatah lama yang mulai terlupakan, “Bersatu kita teguh, bercerai kita berantakan”. Mari hidupkan gotong royong, bantu membantu satu sama lain karena itulah pengabdian. Bukan banyaknya gaji ataupun upah yang didapatkan. Bukan pula seberapa banyak media yang meliputnya, namun satu yang selalu diniatkan yaitu mendapat keberkahan dan ikhlaslah yang selalu diperjuangkan.

Tulisan bisa juga dibaca di link :


Blogger
Disqus

No comments

Contact form

Name

Email *

Message *