Virus-Virus yang Menjangkiti Generasi Muda Indonesia
pada Monday, 12 June 2017
Indonesia merupakan
negara terpadat keempat didunia dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta
jiwa. Berdasarkan data CIA World Facthbook tahun 2015 yaitu dari jumlah
penduduk Indonesia tadi sekitar 27,3 % berusia 0-14 tahun, 66,5 % berumur 15-64
tahun, dan 6,1 % berumur 6,1 %. Hal ini menunjukkan begitu besar jumlah usia
produktif di negeri ini, sehingga tidak salah 100 tahun kemerdekaan kedepan
Indonesia yaitu tahun 2045, Indonesia diprediksikan bisa menjadi salah satu
negara termaju di dunia.
Namun sungguh sangat
mengejutkan terhadap apa yang terjadi pada generasi muda Indonesia saat ini.
Seolah budaya konsumtif dan materailistik sudah menjamur dan mengikis budaya
khas Indonesia seperti berke-Tuhanan, budaya gotong royong, sopan santun hingga
berbagai hal yang telah tercantum dalam nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Hal
inilah yang sedang menjangkit di generasi muda, dan itulah Sindrom.
Ada tiga gejala yang
menandakan hal ini yaitu adanya virus Triavialism
yaitu suatu penyakit yang menjangkit generasi muda untuk selalu
bersenang-senang dan melakukan hal-hal yang menghiburnya saja tanpa memikirkan
nilai edukatif didalamnya. Lalu ada virus Cinderella
yaitu suatu penyakit yang inginnya selalu instan dan praktis tanpa ingin
berlelah-lelah terlebih dahulu sehingga mengakibatkan virus yang ketiga yaitu
virus NEET (No Education, Employee, and
Training).
Hal ini pun didukung
dengan berkembangnya media yang seolah hanya menayangkan hal-hal yang bersifat
menghibur tanpa ada suatu edukasi didalamnya. Maka tak segan-segan Presiden
Indonesia saat ini yaitu Ir. Jokowi menegur media saat ini terutama media
elektronik yaitu televisi. Ada pepatah baru mengatakan, “Tontonan jadi tuntunan dan Tuntunan jadi Tontonan”. Ketika ditanya
apa cita-citanya langsung spontan, mereka menjawab ingin jadi artis, penyanyi,
dan lainnya yang bisa masuk tv dan gajinya tinggi. Seolah menjadi artis adalah
cita-cita tertinggi, padahal yang dikatakan orang besar adalah bukan mereka
yang besar gajinya, tinggi jabatannya namun mereka yang mampu mendedikasikan
dirinya, ilmunya, ketrampilan hingga jiwanya untuk mengabdi.
Seolah semakin maju suatu zaman, teknologi dan ilmu
pengetahuan. Seolah dengan itu pula manusia semakin meninggalkan sifat
fitrahnya sebagai manusia yaitu makhluk sosial. Mereka lebih asyik ngobrol,
update status ataupun hanya lihat status media sosial dibandingkan dengan
berbicara, berdiskusi dengan orang disekitarnya atau melihat fenomena
disekitarnya dan memberikan solusi atas permasalahan yang sedang dihadapi.
Apakah ini maksud, “Menjauhkan yang dekat
dan mendekatkan yang jauh”. Apalagi pasar-pasar tradisional pun mulai
ditinggalkan berganti pasar modern dan jual beli. Seolah tak ada lagi
kesempatan untuk tawar menawar secara langsung, bertemu dengan beragam orang
tuk saling mengenal, menyapa bahkan mendoakan satu sama lain yang semua semakin
membuat kedekatan hati dan kerekatan persahabatan dan persaudaraan antar
sesama.
Mari
bebaskan diri dari belenggu-belenggu diri dan berbagai sindrom diatas, karena
Indonesia adalah bangsa pejuang bukan bangsa yang bermalas-malasan dan pasrah
dengan keadaan, sehingga satu slogan yang terus mereka gemborkan dulu yaitu
“Merdeka atau Mati”. Imam Syafi’i pun telah mengajarkan, “Tidaklah mungkin
orang yang punya mimpi dan bercita-cita besar hanya duduk berpangku tangan.
Tinggalkanlah watan dan kenyamanan maka kau akan menemukan gantinya karena
kenikmatan hidup didapatkan setelah kau melewati kelelahan”. Begitupun pepatah
lama mengajarkan, “Berakit-rakit kehulu,
berenang-renang ketepian. Bersakit-sakitlah terlebih dahulu, dan bersenang-senanglah
kemudian”.
Jadikan
hidup penuh dengan pengorbanan. Semakin menjadi hartawan, semakin pula
bertambah dermawan. Semakin terkenal, maka ia pun semakin menjadi teladan.
Semakin tinggi suatu jabatan, semakin kebermanfaatan dan kemaslahatan yang
selalu dipikirkan. Satu pepatah lama yang mulai terlupakan, “Bersatu kita teguh, bercerai kita berantakan”.
Mari hidupkan gotong royong, bantu membantu satu sama lain karena itulah
pengabdian. Bukan banyaknya gaji ataupun upah yang didapatkan. Bukan pula
seberapa banyak media yang meliputnya, namun satu yang selalu diniatkan yaitu
mendapat keberkahan dan ikhlaslah yang selalu diperjuangkan.